Sabtu, 23 Oktober 2010

POLITIK BAZAAR Oleh : Herman Oesman

RUANG-ruang publik akhir-akhir ini sangat mudah memunculkan pentas kekerasan sebagai suatu pemandangan yang sudah lazim dipertontonkan. Banyak kasus serupa di berbagai kabupaten/kota
se-Maluku Utara, ketika bersinggungan dengan realitas politik, selalu saja kekerasan menjadi lanskap yang dianggap normal. Kita pun menerima itu sebagai suatu aksiomatika dan mungkin juga sebagai ’tradisi’ (dalam tanda petik). Ini bukan ”drama politik” khas Maluku Utara, tapi juga hampir seluruh daerah di Indonesia. Konflik kekerasan adalah bagian dari ”cara” untuk menyelesaikan masalah (?) Kekerasan telah tertular dari level paling atas (negara dan elit) hingga level paling bawah (masyarakat kecil).

Kegiatan politik dalam konteks apapun selalu mengundang rasa ingin tahu masyarakat. Jadilah kita sebagai masyarakat kerumunan (crowd). Lebih hirau pada persoalan-persoalan ramaian (bazaar) dan abai pada hal-hal strategis. Pada titik inilah, konfigurasi politik kita –terutama di Maluku Utara—lebih sering dimaknakan dengan politik bazaar. Toh, kita selalu khusyu dengan hal-hal seperti itu. Kita pun membuat banyak tafsiran, pemikiran bahkan memunculkan analisis. Yang hadir kemudian adalah ketidak-siapan ketika berbeda pandangan (apalagi pilihan politik). Kita pun mati-matian membela pemikiran dan keyakinan politik kita, sampai-sampai orang lain yang berbeda pandangan dengan kita harus dinistakan, dicerca, dihujat dan bahkan dengan enteng menggunakan kekerasan untuk memenangkan pendapat kita.

Problemnya kemudian, kita saling mencari kambing hitam. Kita pun tidak secara cerdas menunjukkan bagaimana manajemen mengelola perbedaan pemikiran itu. Atau mengabaikan sesuatu yang bernilai jangka panjang. Inilah hal strategis yang sering kita campakkan. Kita lebih suka menghitung dampak jangka pendeknya, yakni memaksakan kehendak yang ada. Pada ranah politik juga hal ini muncul. Problem dan konflik kekerasan yang terjadi di ruang publik hanya karena perbedaan kepentingan dan pilihan politik, telah melemahkan kita dalam mengelolanya secara cerdas dan santun. Kita selalu menyaksikan hadirnya dendam politik yang berkepanjangan.

Titik tumpu sebenarnya ada pada elit, yang tidak mampu mengelola perbedaan-perbedaan itu menjadi energi dan sinergi yang bisa menyumbang bagi tegaknya konfigurasi kesantunan dalam memperebutkan kepentingan. Ketika terjadi konflik kekerasan, sangat jarang kita melihat tampilnya elit yang berkepentingan untuk ”turun langsung” menyuarakan solusi yang menyejukkan. Elit lebih berdiam diri menunggu laporan yang terkadang sepihak.

***
Apa yang tergambar di depan mata kita akhir-akhir ini, adalah gambaran nyata betapa lemahnya kita mengelola konflik politik. Betapa rapuhnya elit kita melihat keberadaan masyarakat bawah. Elit kita pun selalu menyuguhkan pentas-pentas politik kerumunan. Menghamburkan narasi besar tanpa landasan filosofi yang dapat dikonkretkan pada level bawah. Narasi besar itu tidak mampu diseret menjadi narasi-narasi kecil untuk diperdebatkan. Soal pendidikan, penegakan hukum, lingkungan hidup, ekonomi, dan kebudayaan lebih menjadi ”pajangan” yang sekilas harus pupus ketika dihadapkan dengan realitas yang ada. Lantas apa selanjutnya? Kembali daerah ini terpuruk. Masyarakat bawah asyik dengan masalahnya, elit terlena dengan ”kuasa” yang diperolehnya, dan kaum muda terbuai dengan ”remah-remah” problem elit yang dihadapinya.

Kita lebih ”takjub” dengan sesuatu yang ramai dan ”besar”. Bak kegiatan bazaar. Orang hiruk-pikuk membincangkan sesuatu dengan tema-tema yang tidak terarah, lalu mudah diseret menjadi pembicaraan tidak produktif. Orang ramai keluar-masuk menangkap setiap inci pembicaraan apapun, lalu menafsirkannya sesuka hati. Begitu tiba pada satu titik, bukannya sinergi pemikiran bernas yang ditemukan. Sebaliknya, yang mencuat adalah baku malawang dan tindakan kekerasan menjadi akhir segalanya.

Konfigurasi politik bazaar di Maluku Utara harus digeser menjadi konfigurasi politik yang lebih transformatif, dan tidak sekadar mengandalkan keramaian dengan narasi-narasi besar tanpa substansi. Menyoal konfigurasi bangunan politik Maluku Utara, harus kembali disasarkan kepada partai politik sebagai pemasok ”bahan baku” SDM yang mumpuni, tidak asal ”ambil” di jalan. Tapi harus selektif secara ketat. Termasuk soal integritas kader yang mampu memberikan pencerahan bagi pembangunan pendidikan politik di lapis bawah.

Tak luput pada posisi ini, peran kaum muda di Maluku Utara perlu dipertanyakan. Jujur, kaum muda juga ikut menyumbang kekisruhan politik bazaar pada setiap moment politik apapun. Peran strategis kaum muda lebih terlihat sebagai ”dealer politik” ketimbang sebagai ”pelopor” pencerahan politik. Sangat terlihat nyata, kaum muda -- meminjam istilah sosiolog raksasa, Max Weber – menjadi pengekor (epigonistik) dari narasi-narasi besar yang diusung oleh elit. Tak terbantahkan, konfigurasi politik yang diusung kaum muda Maluku Utara pun harus terbenam pada persoalan-persoalan yang tidak jauh dari kekerasan.

Kesejukan berpolitik, dan kesantunan bersikap sudah harus difatwakan. Elit dan kaum muda harus membangun komunikasi politik lebih dewasa, santun dan cerdas agar kepentingan kekuasaan yang diperebutkan selama ini lebih mengangkat harkat masyarakat bawah. []

Tidak ada komentar: