Rabu, 08 Desember 2010

Dialog Imajiner dengan Ibnu Khaldun "Tentang Suatu Kota" (Oleh : Herman Oesman)

ENTAH bagaimana, roda waktu itu telah menghempasku pada suatu tempat dan waktu. Tatkala angin semilir tengah membelai perut bumi, dalam suatu kesempatan, aku telah duduk bersama seorang tua tepat di depan lanskap sebuah kota di Afrika Utara, tepatnya Tunisia. Tak tahu siapa yang memulai, kami akhirnya berbincang-bincang segala hal. Dari raut wajahnya, menunjukkan kesalehan pribadinya dan kedalaman ilmu yang dimilikinya. Tutur katanya lembut penuh makna, menghunjam tepat pada labirin kesadaranku. Tatap matanya teduh mengisyaratkan keluasan pengalaman hidup
nya. “Orang ini bukan orang biasa,” gumamku.
“Anak muda, sampai di mana pembicaraan kita tadi?” hening seketika pecah, dari tangannya sebuah buku
tebal tengah digamit, satu jari member tanda halaman yang dibacanya. Aku mencoba merangkai ingatan, kemana arah pembicaraan kami sejauh ini. Ups, memang yang belum terungkap adalah siapa orang tua ini. Sesuatu yang belum dia utarakan sejak tadi. Pikiranku bermain-main, mencoba mengguratkan garis-garis wajah secara imajiner. “Seperti aku mengenal orang tua ini,” pikirku.
“Oh ya, kepada Anda sapaan apa yang pantas kuberikan, karena di antara kita belum saling mengenal.” Segudang keberanian dengan terpaksa kulontarkan untuk membenarkan imajinasi guratan wajah dalam pikiranku.
“Haha, aku sudah menerka dari airmuka mu anak muda. Baiklah. Namaku Abdul Rahman Ibnu Khaldun. Aku dilahirkan di wilayah ini, Tunisia, tepat tanggal 27 Mei 1333. Bagaimana sudah cukup?” Senyum bijaknya tertuju padaku.
Seketika aku pun hampir merasa terjatuh dari tempat duduk, karena kaget ketika orang tua itu menyebut namanya.
“Kalau tidak salah nama itu lebih dikenal dengan nama Ibnu Khaldun.” Jawabku sedikit kaget.
“Tidak salah anak muda. Nama itu yang lebih dikenal orang,” ucapnya merendah.
“Aku sudah membaca buku maha karya Anda, Muqaddimah. Suatu buku, yang tidak saja mengupas tuntas tentang al-ashabiyah, tentang solidaritas sosial para kaum kabilah, tetapi juga Anda banyak menyinggung soal dasar-dasar filsafat sejarah, kepemimpinan, perebutan kekuasaan, peradaban manusia yang muncul dan hancur, organisasi, kota sebagai institusi sosial, kedaulatan negara, pembagian kerja dan dinamika perekonomian, kewibawaan, dan segala macam. Dan, kukira karya Anda itu sampai sekarang masih sangat terasa aktualitasnya. Bahkan di kalangan ilmuwan sosial dunia, menempatkan pemikiran dan diri Anda sebagai avant garde bagi ilmu-ilmu sosial.”
“Anak muda, kamu terlalu melambungkan anganmu pada titik yang demikian tinggi. Padahal buku Muqaddimah, hanyalah “pendahuluan” dari buku lain yang nanti akan kujelaskan lebih luas…” Jawabnya dengan tenang.
“Bisakah Anda menjelaskan kepadaku, bagaimana pandangan Anda tentang suatu kota, sebagaimana yang Anda tulis dalam Muqaddimah. Di mana Anda mengutip para filosof (al-Hukama) dengan menyatakan bahwa manusia bersifat politis menurut tabiatnya, sehingga itulah organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan, yang dalam konsep Anda disebut dengan “Kota” (al-Madinah). Itulah yang menurut Anda dengan peradaban,” tanyaku.
Sambil batuk-batuk kecil orangtua itu menjelaskan. “Kota harus menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi penduduknya. Untuk keamanan diperlukan benteng dan jembatan yang memisahkan kota dengan wilayah disekitarnya. Dari sisi kesehatan, perlu dipastikan sirkulasi udara dan ketersediaan sumber air bersih. Sedangkan dari sisi ekonomi, rumah tangga para penduduk kota perlu didorong untuk beternak dan bercocok tanam, di samping perlu juga menjalin hubungan dagang antar-wilayah. Kota dengan segala kompleksitasnya, merupakan representasi perkembangan ilmu pengetahuan serta pola pikir dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Sebagai cerminan kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Kota juga mengalami dinamika sesuai dengan dinamika penduduknya,”urainya.
“Di tahap awal,” lanjutnya, “ketika jumlah penduduk suatu kota masih terbatas, wujud fisik kota biasanya sangat sederhana. Jumlah, kualitas dan kompleksitas bangunan yang ada terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk, tenaga ahli, dan materi yang tersedia. Sebaliknya, jika suatu hari karena suatu sebab tertentu, terjadi penurunan tingkat peradaban dan/atau jumlah penduduk, wujud fisik kota juga mengalami kemunduran. Begitulah suatu kota,” sembari menerawang jauh ke angkasa.
“Bila suatu kota yang mulai merangkak maju dengan pertumbuhan ekonominya, tentu akan timbul implikasi sosial budaya?. Bagaimana Anda melihat ini?” tanyaku.
“Setiap masyarakat mengalami dinamikanya sendiri. Kehidupan kota ditandai pembagian kerja yang kian lama kian terspesialisasi, sehingga setiap pekerja semakin produktif. Produktifitas masyarakat secara keseluruhan semakin meningkat, dan rakyat-pun makin sejahtera. Namun lambat-laun kesejahteraan tersebut menyebabkan perubahan pada gaya hidup masyarakat yang semakin materialis dan hedonis. Tuntutan kebutuhan pengeluaran yang meningkat, seiring harga-harga yang kian tinggi, menyebabkan sebagian penduduk mengalami kekurangan keuangan, sehingga mengalami kesulitan dalam mempertahankan gaya hidupnya,” jelasnya penuh santun dan bermakna.
Sambil menarik nafas, orangtua itu kembali mengurai pikirannya, “tekanan sosial ekonomi yang kian massif itu mendorong orang untuk melakukan korupsi, penipuan, perjudian, transaksi ribawi, bahkan tindakan asusila dan amoral di mana-mana. Degradasi moral tersebut meluas ke berbagai kalangan, tak terkecuali penguasa dan orang-orang dekatnya. Para pejabat pemerintah tidak lagi memusatkan perhatian untuk mengurus kota, negara dan rakyatnya, melainkan berfikir bagaimana memperkaya dan memuaskan diri dan keluarga mereka saja. Dampaknya, dalam waktu singkat, kota, negara dan masyarakatnya terjerumus ke dalam kehancuran.” Ia menghentikan sejenak penjelasannya. Mengambil air putih disampingnya dan meneguk beberapa kali.
Semburat senja mulai merayap turun perlahan di ufuk barat, pertanda maghrib akan segera menyapa. Orang tua itu mulai mengemasi beberapa buku yang dibawanya dan dimasukkan ke dalam tas yang mulai terlihat lusuh.
”Insya Allah, kapan-kapan kita lanjutkan lagi dialog ini, ya anak muda? Maghrib hampir tiba,” sambil berdiri dengan sedikit berat.
”Dengan senang hati dan selalu berharap dapat berdialog dengan Anda, semoga Anda tidak bosan denganku,” aku cepat berdiri dan menyambar tangannya, kujabat erat dan menatap matanya yang teduh.
Orang tua itu tersenyum penuh ketulusan, lalu kami mulai berjalan perlahan ke arah matahari yang mulai terbenam. Sayup-sayup, terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an dari kejauhan. Tak terasa, buku Muqaddimah yang aku pegang terjatuh. Aku pun sadar. Ternyata aku baru saja bermimpi dan berdialog dengan Ibnu Khaldun.[]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Pak Her,

Aku baru saja membaca blog-nya. Senang dan menenangkan, sekaligus melebarkan cakrawala utk Maluku Utara.

Salam,
Basri