Minggu, 07 November 2010

TIPOLOGI POLITIK MALUKU UTARA Oleh : Herman Oesman

”Pada setiap jaman contoh sifat manusia
yang paling kotor akan ditemukan
di kalangan penggerak rakyat yang
pandai berpidato”
(Thomas Babington Macaulay, 1800-1859)


MENCERMATI perjalanan politik di wilayah Maluku Utara, memberikan kita banyak tafsiran dan perspektif, tentang tingkah polah, sikap dan karakter politisi –dan mereka yang bergiat di bidang politik-- daerah ini. Dalam banyak tafsiran dan perspektif itulah, kita bisa tahu seperti apa sikap, karakter, sistem dan struktur sosial daerah ini. Karena bagaimana pun juga, sistem dan struktur sosial sedikit banyak memberi sapuan kental
bagi sikap dan karakter individu didalamnya. Hal lain, struktur dan sistem sosial ikut menentukan pola interaksi individu.
Persoalan politik Maluku Utara, khususnya dan Indonesia umumnya, masih saja berfokus pada soal keberhasilan atau kegagalan pimpinan daerah, yaitu gubernur dan wakil gubernur. Sebagian besar pemikiran dan kesibukan politik terpusat pada diri kedua aktor politik ini, sementara persoalan-persoalan makro seperti hubungan daerah dan masyarakat dan civil society, hubungan daerah dengan individu, atau hubungan daerah dengan pasar, atau kedudukan Maluku Utara dalam petabumi politik nasional tidak begitu mendapat perhatian. Dalam kaitan ini perlu diungkapkan bahwa semenjak berdirinya provinsi ini, persoalan hubungan individu dan daerah ini relatif tidak mendapat cukup perhatian, terutama karena anggapan bahwa membicarakan hak-hak individu terhadap daerah akan membawa orang kepada persoalan individualisme dan kelompok.

Perlu Pergeseran Kepentingan

Diskusi politik dan perdebatan politik di antara partai politik dan di antara tokoh-tokoh politik seringkali berfokus pada masalah siapa mendapat apa melalui suatu kebijakan politik atau melalui legalisasi suatu produk hukum tertentu. Fokusnya adalah pada exchange of political interest (pertukaran kepentingan politik). Tarikan PP 37/2006 dapat kita baca dalam konteks ini.
Sementara itu, sedikit sekali diskusi yang memberi perhatian pertanyaan akibat apa yang akan muncul dalam struktur politik dan sistem ketatanegaraan, kalau diadakan suatu kebijakan politik atau dikeluarkan suatu produk hukum yang baru. Akibat struktural dalam exchange of social forces (pertukaran kekuatan sosial) mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit daripada akibat yang menyangkut kepentingan para aktor politik yang terlibat.
Krisis politik dianggap sebagai krisis kepemimpinan politik atau krisis moralitas para politisi, yaitu krisis pada tingkah laku para aktor politik, dan sedikit sekali mempertimbangkan segi krisis sebagai akibat dari hubungan-hubungan kelembagaan yang bersifat disfungsional.
Dalam substansinya politik Maluku Utara masih tetap lebih berat pada kepentingan kekuasaan (power heavy) dan belum bergeser titik-beratnya ke arah kepentingan masyarakat (society oriented). Kiranya, Pilkada ini menjadi titik tekan penting untuk menggeser titik yang mengarah pada kepentingan kekuasaan ke kepentingan masyarakat.

Tipologi Politik

Lantas, bagaimana membaca tipologi politik Maluku Utara? Dalam cermatan saya, ada empat tipologi politik Maluku Utara yang berjalan beriringan. Pada kesempatan ini, saya mencoba mendekatinya dengan idiom lokal untuk mencoba memasuki wilayah pemahaman sekaligus sebagai bahan bandingan untuk kita diskusikan lebih jauh dan mendalam.
Bagi saya, banyaknya simbol-simbol lokal yang sangat familiar di sekitar kita merupakan wahana untuk menemu-kenali kearifan lokal yang telah lama tercerabut. Dari simbol-simbol, entah bahasa atau penanda lainnya merupakan penguat identitas lokalitas kita.
Pertama, tipologi politik maniso. Tipologi ini lebih mengutamakan soal kedekatan dengan kekuasaan, atau elite yang punya kuasa (harta, tahta dan prestise). Pada titik ekstrim tertentu, tipologi maniso ini lebih banyak tampil bak selebriti ”salon”. Tanpa memperhitungkan kemampuan dan kapasitas pribadi, asal cakadidi selalu mencari jalan untuk selalu tampil. Toh, penampilan maniso itu terkadang merupakan ”pesanan” elite dan sebagainya.
Kedua, tipologi politik dodeso. Tipologi ini mengikuti adagium para pemburu ketika menebar tali lasso (tali jerat) untuk menjerat hewan buruannya. Pada wilayah politik Maluku Utara, menjerat atau menjaring orang-orang juga menjadi sesuatu yang begitu nyata terlihat. Entah dalam “tim sukses” atau tim apalah. Pada konteks ini, yang terbaca adalah hubungan patron-klien, hubungan relasi kekuasaan yang mengental. Umpan dalam dodeso  yang termakan “korban jeratannya” akan dibuai dengan berbagai fasilitas dan berbagai kepentingan ”korban” untuk memuluskan tujuan aktor/elite yang bertarung. Tak berlebihan, bila dalam “tali dodeso” juga saling berebutan pengaruh.    
Ketiga, tipologi politik dubo-dubo. Konteks politik ini bermuara pada soal kecemburuan, dendam politik dan tidak tersedianya ruang untuk mengefektifkan komunikasi politik. Akhirnya, yang muncul adalah saling  curiga, saling menyalahkan, bahkan tak segan-segan digunakan hukum rimba dan kekerasan. Kata kasarnya, kita tak pernah bisa berkompetisi dengan sehat, selalu saja dicari celah untuk mengkambing-hitamkan seseorang, dengan cara apapun harus diturunkan. Ini telah menjadi fenomena tak lazim, tidak hanya dalam perebutan kekuasaan, tapi dalam berbagai bidang kehidupan, fenomena ini selalu kita temukan.
Keempat, tipologi politik ginoti. Ginoti adalah istilah lokal yang merujuk pada sepotong kayu yang terombang-ambing di laut, dimainkan arus, tak tahu kemana, segala macam sampah akan ikut disana bergayut. Ini menunjukkan ketidak-konsistenan. Ingin cari selamat sendiri. Begitulah, nanti setelah usai pertarungan politik, akan ada politisi ginoti yang terombang-ambing oleh gelombang kehidupannya.
Daftar tipologi ini mungkin masih panjang bila dideret dan dihitung yang kita jumpai dalam idiom keseharian kita. Kita hanya tinggal menambahkan tipologi lain lagi, tentunya. Pertanyaannya, kita berada pada tipologi mana?
Oleh sebab itu, menghadapi perhelatan politik dan demokrasi yang amat menentukan tahun ini, yakni Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur, seharusnya kekuatan-kekuatan politik apa pun, harusnya berorientasi nilai. Idealisme yang diperjuangkan, bukan semata-mata secara pragmatis, merebut dan mempertahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok demi kekuasaan itu sendiri, serta mengabaikan tujuan-tujuan mulia dalam politik.
Semestinya, semua kekuatan-kekuatan politik yang ada adalah kekuatan-kekuatan kebaikan. Tentu saja apa yang diutarakan ini bersifat amat normatif, mengingat apabila dikaitkan dengan realitas-obyektif yang ada, maka justru yang berkembang adalah hal-hal yang bersifat pragmatis. Kalau sikap pragmatisme sudah berjangkit dan dominan, maka lambat laun sebuah kekuatan politik akan menjadi kekuatan kejahatan.[] 

Tidak ada komentar: