Sabtu, 23 Oktober 2010

RECULER Oleh : Herman Oesman

Diam dalam perenungan bukanlah hidup tanpa gerak. Diam bukanlah sebuah kepasifan. Diam adalah reculer. Sebuah usaha mengistirahatkan keletihan, akibat beban. Reculer, atau diam sejenak, tidak sekad
ar melepas ketegangan. Tapi lebih dari itu, ternyata, reculer mampu menghadirkan perspektif baru. Hikmah reculer, di mana kita berada dalam diam, kita bisa mendengar denting yang paling halus sekalipun. Dengan diam, kita bisa mendengar bisikan nurani yang telah lama kita abaikan. Dengan diam juga, kita teringat janji yang terlupakan. Dengan diam...segala kelemahan diri ini mampu kita ”baca”.

Harus disadari, bahwa sekian lama kita selalu terjebak pada berbagai persoalan yang tak pernah ada ujung pangkalnya. Darimana harus memulai, dan di mana harus berhenti, tak pernah jelas. Kita terkadang memulai dari pertengahan untuk memecahkan sebuah persoalan. Atau sering kita mulai dari akhir, bahkan dari awal, tanpa sedikit pun mampu dihentikan atau dituntaskan apa yang dikerjakan itu.
Memang kita membutuhkan waktu sejenak untuk mencari reculer. Reculer itu harus diciptakan oleh kita sendiri. Dan itu, berarti kita mencoba keluar dari sengkarutnya tali temali persoalan yang –mungkin saja—kita ciptakan sendiri.

Persoalan yang kini dihadapi Indonesia, entah persoalan kepemimpinan, dugaan dan santernya korupsi pada lembaga pemerintahan, penegakan hukum, hak-hak publik yang terabaikan bahkan dilecehkan, serta sejumlah kasus yang sedikit banyak telah menelanjangi dan mencoreng wajah negeri ini di tengah gelombang demokratisasi dan reformasi. Di tengah upaya kita membangun wajah negeri yang santun dan bermartabat.

Kita ternyata, membutuhkan waktu sejenak untuk diam merenung. Proses pencarian itulah yang harus dilakukan. Pencarian ke dalam diri memang harus dilakukan, jika setiap komponen merasa bertanggungjawab atas masa depan negeri ini.

Bila tak ada proses reculer, tak ada diam sejenak, kita telah mengabaikan fitrah kemanusiaan hakiki.
Padahal, fitrah kemanusiaan inilah yang selalu merujuk pada kebenaran primordial. Kebenaran primordial inilah yang menjadi poros bagi setiap usaha manusia untuk mencapai ridha Tuhan. Mencapai kebenaran primordial harus melalui proses pencarian yang terus menerus, dan itu dibutuhkan pause, interval dan reculer. Bukan dengan gempita dan sorak sorai yang hanya memberikan interpretasi bahwa kita sesungguhnya memiliki kelemahan.

Bagaimana memahami reculer itu dalam konteks yang lebih riil? Mungkin saatnya kita istirahat sejenak untuk tidak menghambur-hamburkan watak rakus terhadap kekuasaan, yang mendorong tampilnya libido kepentingan pribadi. Marilah kita istirahat sejenak dengan sedikit memahami apa yang tengah dirasakan oleh negeri ini dan masa depan rakyat kebanyakan. []

Tidak ada komentar: